Sungai Luma dan Janji di Tepi Batu Putih
Bab 1: Sungai yang Selalu Ada
Di sebuah lembah yang subur, di antara bukit-bukit yang bentuknya seperti punggung paus, mengalir sebuah sungai bernama Sungai Luma. Airnya jernih seperti kaca. Bila matahari naik tinggi, dasar sungai tampak jelas: batu-batu bulat berwarna cokelat, pasir halus, dan ikan-ikan kecil yang berenang berkelompok seperti garis-garis perak.
Sungai Luma bukan hanya sungai. Bagi penghuni lembah, ia adalah sahabat. Ia berbicara dengan suara gemericik yang menenangkan. Saat hujan turun, sungai menyanyi lebih keras. Saat malam datang, sungai berbisik pelan seperti cerita sebelum tidur.
Di lembah itu tinggal banyak hewan. Ada Rusa yang lincah, ada Kelinci yang cepat, ada Burung Pipit yang suka berkicau, ada Kera yang usil namun baik hati, ada Banteng yang kuat, ada Kuda Hutan yang gagah, dan ada Kura-kura tua yang paling dihormati karena bijaksana.
Kura-kura tua itu bernama Darma. Tempurungnya penuh garis-garis halus seperti peta. Di kepalanya ada luka kecil, tanda ia pernah melewati musim sulit yang sangat lama. Darma sering duduk di batu besar di tepi sungai, batu putih yang licin karena sering disiram air. Batu itu disebut semua hewan sebagai Batu Putih.
Setiap pagi, para hewan datang ke Sungai Luma seperti datang ke pasar yang ramah. Rusa minum dengan hati-hati. Kelinci menunduk cepat, lalu mengangkat kepala dan melihat sekeliling. Burung-burung mandi sebentar, memercikkan air ke bulu mereka, lalu terbang sambil tertawa.
Banteng biasanya datang paling akhir. Ia suka menunggu. Ia merasa tenang ketika semua sudah selesai. Kuda Hutan sering datang bersama temannya. Mereka berdiri tegak dan minum perlahan, seolah-olah air itu adalah hadiah yang harus dihormati.
Tidak pernah ada perebutan. Tidak pernah ada teriakan marah. Sungai selalu cukup untuk semua.
Maka, banyak hewan berpikir, Sungai Luma akan selalu ada seperti itu selamanya.
Bab 2: Musim yang Terlalu Panas
Suatu tahun, hujan terlambat datang. Awalnya tidak ada yang merasa aneh. Kadang-kadang hujan memang telat satu atau dua minggu. Tetapi kali ini, minggu berubah menjadi bulan.
Matahari terasa lebih panas. Angin kering datang dari arah bukit. Daun-daun yang biasanya hijau mengilap mulai kusam. Rumput memendek seperti dipangkas, padahal tidak ada yang memakan sebanyak itu.
Rusa kecil bernama Tara adalah yang paling cepat menyadari perubahan. Tara masih muda, tetapi ia peka. Ia suka memperhatikan hal-hal kecil: bau tanah setelah hujan, rasa air di lidah, suara serangga ketika sore.
Suatu pagi Tara datang ke sungai dan berhenti lama. Ia melihat tepi sungai mundur sedikit. Batu-batu yang biasanya terendam kini tampak.
“Tadi aku pikir aku salah jalan,” gumam Tara.
Ia menunduk minum. Rasanya masih segar, tetapi suara sungai terdengar sedikit berbeda, seolah-olah air sedang menahan napas.
Tara menemui Darma di Batu Putih.
“Paman Darma,” kata Tara sopan, “kenapa air sungai mundur?”
Darma membuka mata pelan. Ia menatap permukaan sungai. Lama sekali.
“Hujan belum datang,” jawab Darma. “Dan kalau hujan terus lupa jalan, sungai bisa mengecil lebih banyak.”
Tara menelan ludah. Ia memikirkan sarang burung di atas pohon, memikirkan kelinci yang suka bermain di rumput, memikirkan ikan-ikan di dasar sungai.
“Apakah itu berbahaya?” tanya Tara.
Darma mengangguk pelan.
“Tapi yang lebih berbahaya,” kata Darma, “adalah ketika semua makhluk mulai takut dan lupa berbagi.”
Tara belum mengerti sepenuhnya. Namun kalimat itu tersimpan dalam kepalanya seperti biji kecil.
Bab 3: Ketika Takut Mulai Bicara
Hari-hari berlalu. Sungai Luma semakin menyempit. Di beberapa tempat, air yang biasanya mengalir deras kini hanya mengalir pelan. Permukaan sungai menjadi lebih rendah sehingga akar pohon yang dulu tertutup air kini terlihat seperti jari-jari kurus.
Hewan-hewan mulai membicarakan sungai bukan lagi sebagai sahabat, tetapi sebagai kekhawatiran.
“Aku lihat airnya tinggal separuh,” kata Kera.
“Airnya masih ada. Jangan berlebihan,” jawab Kuda Hutan, tetapi suaranya tidak yakin.
“Kalau air habis, kita minum apa?” tanya Kelinci dengan mata membesar.
Ketakutan itu seperti asap tipis yang menyebar tanpa terlihat. Semakin banyak yang membicarakannya, semakin tebal rasa takut itu.
Dan ketika rasa takut menjadi tebal, ia mulai mengubah cara hewan-hewan bertindak.
Banteng datang ke sungai lebih cepat dari biasanya. Ia ingin minum duluan. Ia berdiri lama, lebih lama dari yang dibutuhkan. Kadang-kadang ia juga menginjak tepi sungai sehingga tanah menjadi licin dan berlumpur.
Kuda Hutan mulai membawa teman-temannya dan membentuk barisan, seolah-olah mereka menjaga bagian sungai milik mereka sendiri.
Burung-burung yang biasanya mandi di pinggir kini takut mendekat karena hewan besar berdesakan. Mereka hanya menatap dari atas dahan.
Tara melihat semua itu. Ia ingin bicara, tetapi ia masih kecil. Banyak yang tidak memperhatikan rusa muda.
Suatu sore, Tara melihat Kelinci mencoba mendekat, namun terhimpit oleh tubuh Banteng yang besar. Kelinci hampir jatuh.
“Maaf,” kata Banteng pendek, tetapi ia tidak bergeser.
Kelinci pulang dengan tenggorokan kering dan mata berkaca-kaca.
Tara menunggu malam, lalu datang ke Batu Putih lagi.
“Paman Darma,” kata Tara, “kenapa semua jadi seperti ini? Dulu sungai membuat kita rukun.”
Darma menghela napas panjang.
“Karena saat air berlimpah, kebaikan terasa mudah,” kata Darma. “Saat air menipis, kebaikan diuji. Banyak yang lupa bahwa sungai bukan milik satu tubuh besar saja.”
Tara menatap air yang bergerak pelan.
“Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya Tara.
Darma tidak menjawab cepat. Ia menunggu sampai bintang-bintang muncul.
“Kita harus mengingatkan semua bahwa sungai hidup jika tepinya dijaga,” kata Darma. “Dan sungai cukup jika semua mengambil secukupnya.”
Bab 4: Tanda-Tanda dari Dasar Sungai
Ketika musim panas berlanjut, tanda-tanda aneh mulai muncul.
Ikan-ikan kecil tidak lagi berenang ke hulu. Mereka berputar-putar di tempat yang airnya masih dalam. Beberapa ikan muncul ke permukaan, membuka mulut seperti mencari udara.
Batu Putih yang dulu licin mulai kering di bagian atas. Darma sering meraba permukaannya, seolah-olah membaca pesan dari sungai.
Satu hari, Tara melihat sesuatu yang membuatnya benar-benar takut: di sebuah cekungan, air terputus dari aliran utama. Cekungan itu seperti kolam kecil yang terjebak. Ikan-ikan di situ bergerak lemah.
Tara memanggil Burung Pipit untuk membantu.
Burung Pipit terbang rendah dan melihat kolam kecil itu.
“Kalau kolam ini kering, ikan-ikan mati,” kata Burung Pipit.
Tara menelan ludah. Ia melihat sekeliling. Tidak ada hewan besar yang memperhatikan. Mereka sibuk di bagian sungai yang paling dalam, berebut tempat minum.
Tara berlari mencari Darma.
“Paman Darma! Ada kolam yang terjebak!” seru Tara.
Darma mengangkat kepala. Mata tuanya menjadi tajam.
“Ini tanda,” kata Darma pelan. “Sungai mulai terpecah.”
Darma meminta Tara memanggil semua hewan ke Batu Putih saat matahari turun.
Tara berlari, memanggil dari satu tempat ke tempat lain. Ada yang mau datang, ada yang menolak.
“Untuk apa rapat?” kata Banteng. “Rapat tidak membuat hujan datang.”
“Tapi rapat bisa membuat kita tidak saling menyakiti,” jawab Tara, berani.
Banteng mendengus, tapi akhirnya ia datang karena Darma yang memanggil.
Bab 5: Rapat di Batu Putih
Saat matahari mulai miring, hewan-hewan berkumpul di Batu Putih. Angin membawa debu. Udara terasa kering.
Darma berdiri perlahan. Semua diam. Bahkan Kera yang biasanya bercanda pun menahan mulutnya.
“Sungai Luma menyempit,” kata Darma. “Kalian semua melihatnya.”
Hewan-hewan mengangguk.
“Tapi yang lebih berbahaya,” lanjut Darma, “bukan hanya air yang menyusut. Bahaya yang lebih besar adalah ketika kita mulai menganggap sungai milik kita sendiri.”
Kuda Hutan mengangkat kepala.
“Kami hanya menjaga agar bisa minum,” katanya.
Banteng menatap tajam.
“Aku butuh air lebih banyak. Tubuhku besar,” katanya.
Darma mengangguk.
“Aku mengerti,” kata Darma. “Yang besar butuh lebih banyak. Tapi ingat, yang kecil butuh juga. Dan jika yang kecil mati, lembah menjadi sepi. Jika lembah sepi, siapa yang akan membantu menumbuhkan kembali kehidupan?”
Banteng terdiam.
Tara melangkah maju. Suaranya kecil, tetapi jelas.
“Aku melihat kolam kecil terjebak,” kata Tara. “Ikan-ikan hampir kehabisan udara. Kalau sungai terus begini, bukan hanya ikan yang hilang. Kita semua akan kesulitan.”
Ada bisik-bisik.
Kera mengangkat tangan.
“Kalau begitu, apa rencananya?” tanya Kera.
Darma menatap semua.
“Kita buat aturan bersama,” kata Darma. “Aturan yang adil. Bukan untuk menghukum, tetapi untuk menyelamatkan.”
Kuda Hutan menghela napas. “Aturan seperti apa?”
Darma menjelaskan perlahan:
Pertama, waktu minum dibagi. Hewan besar minum pada jam tertentu, hewan kecil punya jam tertentu, agar tidak terhimpit.
Kedua, tidak boleh berdiri lama di titik yang sama sampai air keruh. Minum secukupnya, lalu bergeser.
Ketiga, tepi sungai harus dijaga: jangan diinjak sampai berlumpur, jangan merusak akar, jangan membuat tanah runtuh.
Keempat, semua hewan harus membantu membuat jalur air kecil untuk menyambungkan kolam-kolam yang terputus, agar ikan bisa pindah ke tempat yang lebih dalam.
Beberapa hewan mengangguk, tetapi ada juga yang ragu.
“Ini terlalu banyak,” kata Banteng.
“Lebih banyak daripada kehilangan semua,” jawab Darma.
Sunyi.
Akhirnya, Darma berkata, “Siapa yang setuju?”
Satu per satu, hewan-hewan mengangkat kepala. Kelinci mengangguk cepat. Burung Pipit berkicau setuju. Kera mengangguk sambil menggaruk kepala. Kuda Hutan akhirnya setuju.
Banteng menatap sungai, lalu menatap Tara. Matanya tidak lagi tajam.
“Aku setuju,” kata Banteng pelan.
Tara merasa biji kecil di kepalanya mulai tumbuh.
Bab 6: Menjaga Itu Tidak Mudah
Aturan dibuat, tetapi menjalankan aturan lebih sulit daripada mengucapkan setuju.
Pada hari pertama, Banteng datang di jamnya. Ia minum, lalu hampir lupa bergeser karena ia terbiasa berdiri lama. Tara menatapnya. Banteng menghela napas, lalu melangkah pergi. Ia tidak ingin terlihat tidak menepati janji.
Kuda Hutan mengatur teman-temannya agar tidak berdesakan. Mereka membentuk barisan rapi. Kadang-kadang ada yang mendorong, tetapi yang lain mengingatkan.
Kelinci akhirnya bisa minum tanpa terhimpit. Ia meneguk air dengan syukur, lalu melompat kecil karena senang.
Burung-burung mandi lagi, meski mereka masih memilih tempat yang sepi.
Tara bersama Kera mulai membuat jalur air kecil dengan menggali tanah yang lembut menggunakan kaki dan tangan. Mereka bekerja pelan-pelan agar tidak merusak akar. Darma memberi petunjuk dari Batu Putih.
“Jangan terlalu dalam,” kata Darma. “Cukup agar air bisa merembes.”
Mereka menghubungkan kolam terputus dengan aliran utama. Tidak langsung berhasil. Kadang air tidak mau mengalir. Kadang tanah runtuh. Mereka mencoba lagi.
Hewan lain ikut membantu: Rusa membawa ranting untuk menahan tanah, Burung membawa rumput kering untuk menutup celah agar air tidak hilang, Kelinci membersihkan batu kecil yang menghalangi.
Kerja itu melelahkan, tetapi membuat mereka merasa bersatu lagi.
Namun musim panas belum selesai. Hujan masih belum datang.
Sungai Luma masih menyempit, tetapi kini ia menyempit tanpa pertengkaran besar. Itu sudah menjadi kemenangan kecil.
Bab 7: Ketika Dunia Manusia Mendekat
Suatu pagi, saat Tara sedang minum di jam hewan kecil, ia mendengar suara berbeda dari arah hilir. Bukan suara hewan. Suara itu seperti roda dan langkah yang berat.
Tara bersembunyi di balik semak. Ia melihat sesuatu yang jarang ia lihat: manusia.
Beberapa manusia datang dengan ember dan wadah. Mereka berhenti di tepi sungai. Mereka terlihat lelah. Mereka berbicara pelan sambil memandang air yang menyusut.
Tara pernah mendengar cerita tentang manusia. Ada yang bilang manusia berbahaya. Ada yang bilang manusia hanya makhluk yang juga butuh hidup. Tara tidak tahu mana yang benar.
Kura-kura Darma datang pelan. Ia tidak bersembunyi. Ia hanya diam di Batu Putih, menatap.
Manusia tidak mendekat ke Batu Putih. Mereka mengambil air di tempat lain. Tetapi Tara melihat sesuatu: manusia juga tampak khawatir. Mereka juga kekurangan.
Tara kembali ke kelompoknya dan bercerita.
“Manusia datang mengambil air,” kata Tara.
Banteng mengerutkan dahi.
“Mereka akan menghabiskan sungai,” kata Banteng.
Kuda Hutan menatap jauh.
“Mungkin mereka juga kehausan,” kata Kuda Hutan pelan.
Darma mengangkat kepala.
“Jika kita panik, kita akan membuat masalah baru,” kata Darma. “Ingat: rasa takut adalah api. Ia bisa membakar akal.”
Maka Darma mengajak semua hewan melakukan sesuatu yang lebih sulit: mengerti.
Ia meminta Tara dan Burung Pipit mengamati manusia dari jauh. Bukan untuk mencari kesalahan, tetapi untuk memahami.
Hari-hari berikutnya, Tara melihat manusia datang hampir setiap hari. Mereka tidak mengambil air sepanjang hari. Mereka datang, mengisi wadah, lalu pergi. Mereka tidak merusak tepi sungai, tetapi jejak kaki mereka membuat beberapa tempat menjadi licin.
Tara merasa bingung. Ada dua dunia yang sama-sama membutuhkan sungai yang sama.
Bab 8: Janji di Tepi Batu Putih
Suatu sore, ketika matahari hampir tenggelam, terjadi sesuatu yang tidak diduga.
Seorang anak manusia datang bersama orang tuanya. Anak itu kecil, seumur Tara jika Tara adalah manusia. Anak itu memegang wadah kecil dan menatap sungai.
Ketika anak itu melihat ikan kecil yang terjebak di kolam dangkal, ia menunjuk dan berkata sesuatu pada orang tuanya. Tara tidak mengerti bahasa manusia, tetapi Tara mengerti nada suara: anak itu terdengar sedih.
Orang tuanya mengangguk dan melakukan hal yang aneh: mereka menumpahkan sedikit air dari wadah mereka ke kolam kecil, supaya ikan punya air lebih banyak.
Tara terkejut. Ia tidak menyangka ada manusia yang memikirkan ikan.
Keesokan hari, anak manusia itu datang lagi. Kali ini ia membawa sesuatu: bibit kecil dalam kantong tanah. Ia menanam bibit itu di tepi sungai yang gundul.
Tara menahan napas.
Darma yang melihat dari jauh berkata pelan, “Ada yang mengingat bahwa tepi sungai adalah bagian dari sungai.”
Tara merasa hangat di dada.
Malam itu, Darma mengumpulkan hewan-hewan.
“Kita sudah membuat janji di Batu Putih,” kata Darma. “Janji untuk berbagi dan menjaga. Sekarang, kita melihat makhluk lain juga mencoba menjaga. Maka janji kita harus lebih kuat.”
Darma menegaskan kembali aturan, dan menambahkan satu hal: jika manusia datang, hewan tidak boleh menyerang atau membuat panik. Hewan cukup menjauh, memberi ruang, lalu kembali setelah manusia pergi.
“Kalau kita saling menakut-nakuti,” kata Darma, “sungai akan jadi tempat perang. Padahal sungai adalah tempat hidup.”
Semua setuju.
Tara melihat ke arah sungai yang mengecil. Ia berjanji dalam hati untuk menjaga Sungai Luma selama ia hidup.
Bab 9: Hujan Pertama
Musim panas tidak pergi dengan cepat. Ada hari-hari ketika udara begitu panas sampai batu terasa membakar kaki. Ada hari-hari ketika angin membawa debu sampai mata perih.
Tetapi karena aturan dan kerja bersama, semua masih bisa bertahan.
Kolam-kolam kecil tidak sepenuhnya mati karena jalur air kecil membantu. Ikan-ikan bisa berpindah ke tempat lebih dalam. Burung masih bisa minum. Kelinci tidak lagi pulang dengan tenggorokan kering.
Lalu suatu sore, langit berubah.
Awan gelap muncul dari balik bukit. Pertama hanya satu. Lalu dua. Lalu banyak.
Hewan-hewan menatap dengan mata lebar. Mereka sudah lama tidak melihat awan seperti itu.
Angin berubah menjadi sejuk. Bau tanah basah mulai tercium, meski hujan belum turun.
Tara berdiri di tepi sungai. Ia merasa seolah-olah dunia sedang menarik napas.
Lalu tetes pertama jatuh. Tetes kecil mengenai Batu Putih.
Darma menutup mata. Seolah-olah ia sedang mendengar lagu lama yang sangat ia rindukan.
Tetes kedua jatuh. Tetes ketiga. Lalu hujan turun lebih deras.
Hewan-hewan tidak bersorak keras. Mereka hanya diam, membiarkan hujan membasahi wajah. Beberapa menunduk seperti menghormati.
Air sungai mulai naik sedikit demi sedikit. Tidak langsung besar, tetapi bergerak.
Sungai Luma kembali terdengar. Suara gemericiknya kembali seperti sahabat yang pulang.
Bab 10: Sungai yang Tidak Ingin Dilupakan Lagi
Setelah hujan pertama, hujan berikutnya datang beberapa kali. Sungai Luma mulai melebar lagi. Rumput tumbuh pelan. Daun-daun baru muncul di pohon yang hampir kering.
Hewan-hewan kembali bernapas lega, tetapi Darma mengingatkan:
“Jangan lupa pelajaran ini hanya karena sungai kembali besar,” kata Darma. “Kadang, saat semuanya mudah, kita lupa menjaga.”
Maka mereka tetap menjalankan aturan, meski air bertambah. Hewan besar tetap bergiliran. Hewan kecil tetap punya ruang. Tepi sungai tetap dijaga agar tidak berlumpur.
Tara melihat perubahan besar dalam diri semua hewan. Banteng tidak lagi berdiri lama. Ia bahkan sering menoleh ke belakang untuk memastikan Kelinci bisa minum.
Kuda Hutan menjadi lebih sabar. Kera tidak lagi usil ketika ada yang lambat. Burung-burung bernyanyi lebih sering, seolah-olah mereka menyambut damai yang baru.
Dan di tepi sungai, bibit yang ditanam anak manusia mulai tumbuh menjadi pohon kecil. Daunnya masih sedikit, tetapi berdiri tegak. Tara sering menatap pohon itu dari jauh.
Suatu hari, Tara mendengar Darma berbicara pada sungai, pelan sekali.
“Sungai Luma,” kata Darma, “maafkan kami yang hampir lupa bahwa engkau tidak hidup jika kami hanya mengambil.”
Tara merasa kata-kata itu penting. Ia mengingatnya.
Beberapa tahun kemudian, Darma menjadi semakin tua. Ia sering beristirahat lebih lama di Batu Putih.
Sebelum tidur pada suatu malam, Darma memanggil Tara.
“Tara,” kata Darma, “kelak kau akan menjadi salah satu yang memimpin di lembah ini. Ingatlah: yang paling penting bukan kekuatan, tetapi kemampuan menahan diri.”
Tara mengangguk.
“Jika suatu hari sungai menyusut lagi,” lanjut Darma, “jangan biarkan rasa takut memimpin. Biarkan pengertian memimpin. Karena rasa takut membuat kita mengambil lebih banyak. Pengertian membuat kita berbagi.”
Tara menunduk, menghormati.
Darma tersenyum pelan, lalu memejamkan mata.
Sungai Luma mengalir pelan di samping Batu Putih, seperti menyanyikan lagu perpisahan yang lembut.
Pesan Cerita
Sungai memberi hidup, tetapi sungai juga bisa lelah jika semua hanya mengambil.
Saat sumber daya menipis, yang paling penting bukan siapa yang paling kuat, tetapi siapa yang mau berbagi dan menjaga.
Kebaikan bukan hanya untuk saat mudah, melainkan untuk saat sulit.



















