Samudra Biru dan Penyu yang Mengira Plastik Adalah Bulan
Bab 1: Samudra yang Tidak Pernah Diam
Jauh sebelum manusia mengenal jam dan kalender, jauh sebelum garis pantai dipenuhi bangunan dan perahu besar, terbentang sebuah lautan luas bernama Samudra Biru. Lautan ini tidak pernah benar-benar diam. Ia selalu bergerak, bernapas, dan berbicara dengan caranya sendiri.
Jika pagi datang, Samudra Biru berkilau seperti cermin raksasa. Jika siang tiba, warnanya berubah menjadi biru terang yang menenangkan. Dan ketika malam turun, samudra itu menjadi gelap dan tenang, memantulkan cahaya bulan seperti jalan perak yang panjang.
Di dalam Samudra Biru hidup banyak makhluk. Ada ikan kecil yang berenang bergerombol seperti awan, ikan besar yang melintas dengan tenang, ubur-ubur yang bergerak pelan seperti tirai cahaya, serta karang-karang tua yang berdiri diam namun menyimpan ribuan cerita.
Di antara semua penghuni samudra itu, penyu laut adalah makhluk yang paling sabar. Mereka berenang jauh, mengikuti arus yang panjang, dan kembali ke tempat asalnya meski harus menempuh perjalanan bertahun-tahun.
Salah satu penyu itu bernama Nara.
Bab 2: Penyu Bernama Nara
Nara adalah penyu muda. Ia belum setua para penjaga arus, tetapi juga bukan tukik kecil yang baru belajar berenang. Tempurungnya masih bersih, dengan garis-garis halus yang belum banyak bekas goresan.
Nara suka berenang perlahan. Ia tidak terburu-buru. Ia menikmati perjalanan, memperhatikan cahaya yang menembus air, dan mendengarkan suara samudra.
Setiap malam, Nara sering naik ke permukaan laut. Ia mengangkat kepalanya, menarik napas panjang, lalu menatap langit.
Di sanalah ia melihat bulan.
Bulan selalu membuat Nara kagum. Bentuknya bulat, warnanya pucat, dan cahayanya tampak lembut. Bulan terlihat seperti benda yang mengapung, tidak jauh berbeda dengan ubur-ubur di laut.
“Paman Arga,” tanya Nara suatu malam, “kenapa bulan tidak pernah tenggelam?”
Penyu tua bernama Arga, yang sudah berenang lebih lama dari usia siapa pun di samudra itu, tersenyum pelan.
“Karena bulan bukan bagian dari laut,” jawab Arga. “Ia hanya memberi cahaya, bukan ikut berenang.”
Nara mengangguk, meski dalam hatinya masih tersisa rasa penasaran.
Bab 3: Cerita-Cerita dari Arus Lama
Arga dikenal sebagai penyu penjaga cerita. Ia sering menceritakan kisah lama kepada penyu muda.
Ia bercerita tentang masa ketika laut jauh lebih bersih. Tentang karang yang warnanya lebih cerah. Tentang ikan yang jumlahnya lebih banyak.
“Dulu,” kata Arga, “samudra jarang membawa benda yang tidak bernyawa.”
Nara mendengarkan dengan serius.
“Sekarang?” tanya Nara.
Arga terdiam sejenak.
“Sekarang laut sering membawa barang dari atas,” jawabnya pelan.
Nara tidak terlalu mengerti. Baginya, laut masih terasa luas dan indah.
Bab 4: Benda-Benda yang Tidak Dikenal
Suatu hari, saat Nara berenang mengikuti arus hangat, ia melihat sesuatu yang asing. Sebuah benda bening mengambang di air. Bentuknya tipis dan bergerak mengikuti arus.
Nara mendekat dan mengamati.
Benda itu tidak bergerak seperti ikan. Tidak bernapas seperti makhluk hidup. Tetapi juga tidak tenggelam seperti batu.
“Apa itu?” tanya Nara pada ikan kecil.
Ikan kecil menggeleng.
“Bukan makanan,” katanya. “Bukan rumah. Kami tidak tahu.”
Hari demi hari, Nara melihat semakin banyak benda seperti itu. Ada yang putih, ada yang transparan, ada yang panjang seperti pita.
Penyu tua mulai gelisah.
“Itu bukan bagian dari samudra,” kata Arga. “Itu benda buatan manusia.”
Bab 5: Kesalahan yang Terlihat Indah
Pada suatu siang yang cerah, matahari bersinar tepat di atas laut. Cahaya menembus air dan menciptakan bayangan yang indah.
Di kejauhan, Nara melihat sesuatu yang membuatnya terpikat.
Sebuah benda putih melayang perlahan. Bentuknya bulat dan bergelombang. Cahaya matahari membuatnya tampak bercahaya.
Benda itu terlihat seperti bulan kecil yang turun ke laut.
Jantung Nara berdebar.
“Apakah ini bulan?” pikirnya.
Tanpa ragu, Nara berenang mendekat. Benda itu tampak lembut, seperti ubur-ubur yang sering menjadi makanannya.
Nara membuka mulut dan menelannya.
Namun seketika itu juga, segalanya berubah.
Bab 6: Saat Napas Menjadi Berat
Benda itu tidak hancur. Tidak lembut. Tidak hidup.
Benda itu tersangkut di tenggorokan Nara.
Nara panik. Ia berenang cepat, berputar, mencoba memuntahkan benda itu. Namun benda itu tidak bergerak.
Dadanya terasa sesak. Napasnya berat.
Air di sekelilingnya terasa sunyi.
Nara mencoba memanggil, tetapi hanya gelembung kecil yang keluar dari mulutnya.
Ia mulai lelah.
Bab 7: Pertolongan dari Arus Lama
Arga melihat Nara berenang tidak beraturan. Ia segera mendekat.
Dengan hati-hati, Arga menarik benda putih itu dari mulut Nara. Benda itu panjang dan kusut.
Nara tergeletak lemah di dasar laut.
“Itu plastik,” kata Arga sedih. “Bukan bulan.”
Nara menatap benda itu lama.
“Aku pikir… itu indah,” bisiknya.
Arga mengangguk.
“Banyak hal terlihat indah,” katanya, “tetapi tidak semua aman.”
Bab 8: Samudra yang Terluka
Setelah kejadian itu, Nara beristirahat lama. Ia melihat laut dengan cara berbeda.
Ia mulai memperhatikan ikan yang terjerat plastik. Karang yang tertutup benda asing. Arus yang membawa lebih banyak sampah daripada makanan.
Penyu-penyu tua mengumpulkan semua makhluk laut.
“Kita harus berhati-hati,” kata Arga. “Ajarkan anak-anak untuk tidak menelan benda asing.”
Namun Arga tahu, menjaga diri saja tidak cukup.
Bab 9: Pantai dan Anak Manusia
Suatu hari, Nara mendekati pantai. Ia melihat sesuatu yang jarang ia lihat.
Seorang anak manusia sedang memungut sampah di pasir. Anak itu mengumpulkan plastik ke dalam karung.
Nara bersembunyi di balik ombak.
“Kenapa ia melakukannya?” tanya Nara pada burung camar.
“Mungkin karena ia peduli,” jawab camar.
Anak itu berhenti sejenak, menatap laut, lalu tersenyum kecil.
Untuk pertama kalinya, Nara merasa manusia tidak selalu merusak.
Bab 10: Janji pada Bulan
Malam itu, Nara naik ke permukaan laut. Bulan bersinar terang.
Ia menatap bulan lama.
“Aku tidak akan mengira plastik sebagai bulan lagi,” katanya pelan. “Aku akan menjaga lautku.”
Bulan tetap diam, tetapi cahayanya terasa hangat.
Bab 11: Menjadi Penjaga Cerita
Waktu berlalu. Nara tumbuh menjadi penyu dewasa.
Ia mengajarkan tukik-tukik kecil tentang bahaya benda asing.
“Tidak semua yang bercahaya adalah makanan,” katanya.
Ia menceritakan kisah tentang plastik dan bulan.
Bab 12: Samudra yang Belajar Bernapas
Samudra Biru belum sepenuhnya bersih. Sampah masih datang. Namun ada perubahan kecil.
Manusia mulai membersihkan pantai. Beberapa karang tumbuh kembali. Beberapa ikan kembali.
Samudra Biru masih bercerita.
Dan Nara menjadi bagian dari cerita itu.
Epilog: Bulan dan Laut
Setiap malam, bulan masih menggantung di langit.
Dan setiap malam, laut memantulkan cahayanya.
Bulan tidak pernah turun ke laut.
Dan laut tidak pernah lupa mengingatkan:
keindahan sejati tidak pernah menyakiti.
Pesan Cerita
Tidak semua yang terlihat indah itu aman.
Laut bukan tempat membuang kesalahan.
Jika manusia dan alam saling menjaga,
samudra akan terus hidup dan bercerita.



















