Jembatan Hijau di Atas Jalan Berderu
Bab 1: Padang Angin yang Terbelah
Di sebuah negeri yang udaranya sejuk dan langitnya sering jernih, ada hamparan luas bernama Padang Angin. Orang menyebutnya begitu karena angin selalu datang seperti tamu baik: menyapa rumput, menggoyangkan bunga liar, dan membawa aroma tanah basah ketika hujan turun jauh di bukit.
Di Padang Angin hidup banyak hewan. Ada kawanan Rusa Awan—rusa besar bertanduk yang langkahnya tenang. Ada Lari-Tajam, hewan padang yang larinya ringan dan matanya tajam. Ada kelinci tanah, rubah kecil, dan burung-burung yang suka bernyanyi.
Dulu, Padang Angin adalah satu tempat yang utuh. Kalau air menipis di sisi utara, hewan tinggal berjalan ke selatan. Kalau rumput menguning di sisi barat, mereka pindah ke timur. Semua seolah punya rumah luas tanpa pagar.
Lalu, suatu hari, manusia datang membawa alat besar dan suara keras. Mereka membuat jalan panjang yang membelah padang seperti garis tebal. Jalan itu berderu siang malam. Di atasnya, benda-benda cepat melintas, berkilat, dan tak pernah benar-benar berhenti.
Sejak jalan itu ada, Padang Angin seperti punya dua bagian yang saling memandang dari jauh, tetapi sulit saling mendekat. Hewan-hewan mulai memutar jauh. Anak-anak hewan sering lelah. Dan yang paling membuat jantung berdetak cepat adalah ketika mereka harus mendekati jalan berderu itu.
Para hewan tidak membenci manusia. Mereka hanya bingung. Mereka tidak mengerti mengapa sebuah jalur bisa dibuat tanpa memikirkan jalur lain yang sudah ada jauh lebih lama: jalur rumput, jalur air, jalur migrasi yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Bab 2: Luno dan Peta di Kepalanya
Di kawanan Rusa Awan, ada seekor rusa muda bernama Luno. Tanduknya baru tumbuh kecil, tetapi matanya jernih dan penuh perhatian.
Luno bukan rusa paling cepat. Namun ia punya kebiasaan yang membuatnya berbeda: ia selalu mengingat jalur. Ia hafal batu besar dekat semak. Ia hafal pohon tua yang cabangnya miring. Ia hafal lekuk tanah yang aman dilalui saat hujan.
Kakek Luno, rusa tua bernama Garda, sering berkata, “Kekuatan itu penting, tapi ingatan tentang jalan juga penting. Kalau kamu tersesat, tandukmu tidak akan menolong.”
Luno ingin berguna. Ia sering berjalan sedikit lebih depan atau sedikit lebih samping kawanan, mencatat dalam pikirannya setiap belokan dan setiap tempat berlindung.
Suatu musim, rumput di wilayah mereka cepat mengering. Air mengecil. Kawanan harus pindah ke sisi lain padang—ke tempat yang lebih segar. Biasanya mereka hanya melintas seperti biasa, tetapi kini jalan berderu memotong jalur itu.
“Dulu kita melintas tanpa pikir panjang,” kata Garda. “Sekarang kita harus memutar jauh, dan anak-anak akan lelah.”
Luno menatap jalan dari kejauhan. Ia merasa jalan itu seperti sungai yang bukan air—arusnya terlalu cepat, suaranya terlalu keras. Ia pernah mendengar cerita sedih tentang hewan yang mencoba menyeberang tanpa jalur aman. Luno tidak ingin itu terjadi lagi.
Ia bertanya pada Garda, “Apakah padang ini akan tetap terbelah?”
Garda menghela napas. “Aku tidak tahu. Tapi yang aku tahu, kita harus mencari cara hidup, bukan hanya bertahan.”
Bab 3: Sari dan Kecepatan yang Tidak Cukup
Di sisi bukit semak, kawanan Lari-Tajam dipimpin oleh seekor betina bernama Sari. Sari dikenal sebagai pelari hebat. Ia bisa memimpin kawanan melewati tanah terbuka tanpa ragu. Kalau ada bahaya, Sari cepat memberi aba-aba.
Namun ketika jalan berderu membelah padang, bahkan Sari merasakan sesuatu yang baru: kecepatan tidak selalu bisa menolong.
Suatu pagi, Sari mencoba membawa kawanan mendekati jalan, menunggu saat tampak sepi. Mereka menunggu, mendengar deru yang datang dan pergi tanpa pola yang jelas. Ada jeda, lalu tiba-tiba suara keras dan cahaya tajam melintas.
Sari memberi aba-aba untuk mundur. Kawanan berbalik. Tidak ada yang terluka, tetapi semua gemetar.
Prong muda bertanya, “Kalau kita secepat angin, kenapa kita tetap takut?”
Sari menjawab lembut, “Karena yang kita hadapi bukan makhluk hidup yang bisa menoleh atau mengalah. Ini arus besi yang tidak tahu kita ada.”
Sejak itu, Sari berusaha mencari cara lain. Ia tidak ingin kawanan terkurung. Ia juga tidak ingin mereka mengambil risiko yang tidak perlu.
Bab 4: Burung Hantu yang Mendengar Malam
Di Padang Angin, malam bukan hanya gelap. Malam adalah waktu suara-suara kecil menjadi jelas: suara rumput bergesek, suara kaki kelinci di tanah, suara angin menabrak batu.
Di sebuah pohon tua dekat tepi padang, tinggal burung hantu bernama Wira. Matanya besar dan tajam. Ia suka mendengarkan. Ia jarang bicara, tetapi kalau bicara, hewan-hewan mendengarkan.
Wira tahu jalur yang sering dipakai hewan. Ia juga tahu tempat paling berbahaya: dekat jalan berderu, terutama pada saat kabut atau hujan ringan ketika pandangan berkurang.
Suatu malam, Wira melihat dari atas bahwa banyak hewan berhenti di tepi jalan, bingung, lalu memutar jauh. Wira tidak suka melihat anak hewan kelelahan.
Ia berkata pada dirinya sendiri, “Jika padang terbelah, harus ada sesuatu yang menjahitnya kembali.”
Namun burung hantu tidak bisa membangun jembatan. Ia hanya bisa menyimpan harapan dan mengamati perubahan.
Bab 5: Anak Manusia Bernama Lia
Tidak jauh dari padang, ada perkampungan kecil manusia. Di sana tinggal seorang anak bernama Lia. Lia suka menggambar dan suka bertanya. Ia sering berjalan bersama ayahnya yang bekerja membantu merawat jalan dan lingkungan sekitarnya.
Ayah Lia bukan pemburu. Ia bukan orang yang mengusir hewan. Ia lebih suka memikirkan cara agar manusia dan hewan sama-sama aman.
Suatu sore, Lia melihat sesuatu dari mobil ayahnya: di tepi jalan, ada jejak-jejak kaki hewan. Jejak itu berhenti, berputar, dan kembali lagi. Seolah ada makhluk yang ingin melintas tetapi tidak berani.
Lia bertanya, “Ayah, kenapa jejaknya berhenti di situ?”
Ayahnya menjawab, “Karena di sana jalur mereka dulu lewat. Tapi sekarang ada jalan besar.”
Lia memandang jauh ke padang. “Jadi kita memotong rumah mereka?”
Ayahnya diam sejenak. “Kita memotong jalur mereka. Dan sekarang kita mencoba memperbaikinya.”
Lia menyimpan kata “memperbaiki” seperti benda berharga.
Bab 6: Bangunan yang Aneh dan Rumput yang Ditabur
Suatu hari, hewan-hewan melihat manusia bekerja di dekat jalan. Ada alat, ada peta, ada tiang. Mereka membangun sesuatu yang melintang di atas jalan.
Luno dan Garda mengamati dari jauh. Sari juga mengamati dari sisi bukit. Wira memantau dari pohon.
Yang aneh, manusia tidak membuat permukaan bangunan itu licin. Mereka menutupnya dengan tanah. Mereka menaburkan benih rumput. Mereka menaruh batu-batu kecil dan ranting, seolah membuat potongan padang yang terangkat.
“Kenapa mereka menaruh tanah di atas jalan?” tanya Luno.
Garda menjawab pelan, “Mungkin… mereka membuat jalan untuk kita.”
Kata-kata itu terdengar seperti mimpi. Jalan untuk hewan?
Wira, si burung hantu, mengamati dengan serius. Ia melihat pagar pengarah dipasang di sepanjang jalan, mengarahkan hewan ke tempat itu agar tidak menyeberang sembarangan.
Di kampung, Lia juga sering melihat pembangunan itu. Ia menggambar sebuah lengkung besar hijau di bukunya dan menulis: “Jembatan untuk pulang.”
Bab 7: Langkah Pertama di Atas Deru
Ketika pembangunan selesai, manusia mulai jarang berada di atas jembatan hijau itu. Mereka memasang kamera kecil, lalu pergi. Mereka menunggu.
Garda mengumpulkan kawanan Rusa Awan. “Kita coba pelan. Jangan ramai. Jangan panik.”
Luno ikut di barisan depan. Kakinya gemetar saat pertama kali menginjak tanah di atas jembatan. Ia menunggu suara bahaya, tetapi yang terdengar hanya deru jauh di bawah, bukan tepat di samping telinga.
Ia melihat rumput muda. Ia mencium bau tanah. Ia merasa seperti berada di bukit kecil yang dibuat untuk menyeberang.
“Kakek,” bisik Luno, “aku bisa melihat sisi lain tanpa takut.”
Mereka berjalan pelan sampai ke seberang. Saat kaki mereka menyentuh padang sisi lain, Garda menunduk sejenak, seperti memberi salam pada tanah.
“Kita punya jalur lagi,” kata Garda.
Keesokan harinya, Sari membawa kawanan Lari-Tajam. Ia melangkah pelan, menahan kebiasaan berlari cepat. “Ini bukan soal cepat. Ini soal selamat.”
Di tengah jembatan, Sari menatap luasnya padang. Ia merasa lega. Ia memimpin kawanan sampai seberang tanpa panik.
Kabar menyebar di antara hewan: ada padang yang melintas di atas jalan.
Bab 8: Beruang yang Terlalu Penasaran
Tidak lama setelah itu, tokoh baru muncul di cerita Padang Angin: seekor beruang cokelat bernama Brum.
Brum bukan beruang jahat. Ia hanya besar dan sangat penasaran. Ia suka mencium berbagai aroma: madu, buah, rumput basah, dan kadang aroma aneh dari benda manusia.
Brum hidup di pinggir hutan kecil dekat padang. Ia jarang bertemu rusa atau pronghorn karena jalurnya berbeda. Namun ketika mendengar “ada bukit hijau di atas jalan,” rasa ingin tahunya meledak.
Suatu malam, Brum mendekat ke pagar pengarah yang panjang. Ia ingin melihat jembatan itu dari dekat. Namun Brum salah memilih jalur. Ia masuk ke area dekat pagar yang membuatnya sulit berputar. Pagar itu bukan jebakan, tetapi memang mengarahkan agar hewan menuju jalur aman.
Brum berjalan maju, lalu mendapati jalan berderu di sampingnya. Ia terkejut oleh suara keras.
“Apa ini?” gumam Brum, menutup telinga dengan bahunya.
Ia ingin mundur, tetapi pagar membuat jalurnya memutar. Brum mulai gugup. Ia bukan takut pada banyak hal, namun deru jalan membuatnya tidak nyaman.
Wira, burung hantu, melihat dari atas. Ia bisa melihat bayangan besar bergerak gelisah.
“Beruang itu salah jalan,” pikir Wira.
Wira terbang rendah, mendekati semak, lalu mengeluarkan suara panggilan pendek yang dikenal hewan padang sebagai tanda perhatian.
Luno kebetulan sedang bersama Garda di dekat jalur masuk jembatan. Ia mendengar suara Wira. Luno menoleh. Garda juga menoleh.
“Ada masalah,” kata Garda.
Bab 9: Konflik Kecil di Bawah Bulan
Luno dan Garda mendekati area pagar dari jarak aman. Mereka melihat Brum—besar, gelisah, mondar-mandir.
Sari juga datang dari arah lain. Ia menjaga jarak, tetapi ia paham sesuatu: kalau Brum panik, ia bisa menabrak pagar dan terluka.
Namun hewan padang juga punya rasa takut alami pada beruang. Brum besar. Kalau tidak kenal, bayangan besar itu bisa dianggap ancaman.
Sari berbisik pada Luno, “Kita harus hati-hati. Jangan dekat-dekat. Tapi kita harus membantu.”
Luno menelan ludah. “Bagaimana kita membantu beruang tanpa membuatnya merasa diserang?”
Wira hinggap di dahan rendah dan berkata dengan tenang, “Dengan menunjukkan arah, bukan dengan mengejar. Beruang itu hanya tersesat.”
Brum akhirnya melihat mereka. Ia menggeram pelan—bukan karena ingin menyerang, tetapi karena gugup.
“Aku tidak mau bertengkar,” kata Brum, suaranya berat. “Aku hanya… ingin pulang. Tapi suaranya terlalu keras di sini.”
Garda mengangkat kepala, menjaga wibawa.
“Kami juga tidak ingin bertengkar,” kata Garda. “Ada jalur aman. Ikuti pagar ini, ia akan membawamu ke bukit hijau.”
Brum menatap curiga. “Bukit hijau?”
Sari berkata, “Jembatan rumput. Di atas jalan. Di sana suaranya lebih jauh.”
Brum mengendus. Ia mencium rumput muda dari arah jembatan. Itu membuatnya sedikit tenang.
Wira menambahkan, “Pelan-pelan. Jangan lari. Kalau kamu lari, kamu akan makin panik.”
Brum menarik napas dan mulai berjalan pelan mengikuti pagar yang mengarah ke jalur masuk jembatan.
Konflik kecil terjadi ketika Brum tiba-tiba mendengar suara kendaraan yang lebih keras dan melonjak kaget. Ia hampir menabrak pagar. Luno refleks maju beberapa langkah, lalu berhenti. Ia ingat: jangan membuat Brum merasa dikepung.
Garda berkata tegas, “Berhenti, Brum. Dengarkan suaraku.”
Brum berhenti. Ia menatap Garda.
Garda melanjutkan, “Kamu besar dan kuat. Tetapi sekarang yang kamu perlukan bukan kekuatan. Yang kamu perlukan adalah tenang.”
Brum mengangguk pelan. Ia melanjutkan langkahnya.
Akhirnya, mereka sampai di jalur masuk jembatan. Brum menginjak tanah di atasnya, dan ekspresinya berubah.
“Oh,” gumam Brum. “Ini… seperti tanah sungguhan.”
Sari tersenyum kecil. “Memang begitu.”
Brum berjalan menyeberang. Untuk pertama kalinya, ia tidak merasa deru jalan menggigit telinganya.
Di sisi seberang, Brum menoleh pada mereka. “Terima kasih. Aku kira aku sendirian di malam ini.”
Wira berkata, “Tidak ada yang benar-benar sendirian kalau ada yang mau memberi arah.”
Brum pergi, dan malam kembali tenang.
Bab 10: Badai Kecil dan Rumput yang Terlepas
Beberapa minggu setelah itu, Padang Angin mengalami badai kecil. Angin bertiup kuat. Hujan turun deras. Tidak berbahaya seperti bencana, tetapi cukup membuat tanah muda di atas jembatan sedikit tergerus.
Pagi berikutnya, Luno dan Sari melihat ada bagian rumput yang terlepas, menyisakan tanah terbuka dan beberapa ranting berserakan. Jalur jembatan masih aman, tetapi terlihat berbeda.
Bagi hewan, perubahan kecil bisa terasa besar. Beberapa rusa muda berhenti dan ragu menyeberang. Mereka takut bagian tanah yang terbuka adalah perangkap. Beberapa prong muda memilih memutar, meski memutar membuat lelah.
Luno mencoba menyeberang duluan untuk memberi contoh, tetapi sebagian anak rusa tetap ragu.
“Kok beda?” tanya salah satu anak rusa.
Sari juga melihat prong muda ragu. “Aku tidak suka kalau jalur ini mulai ditinggalkan,” pikir Sari.
Wira mengamati dari pohon. Ia tahu, kalau hewan berhenti memakai jembatan, mereka akan kembali mencoba menyeberang di tempat berbahaya.
Di kampung, Lia melihat ayahnya bersiap pergi membawa bibit rumput dan alat sederhana.
“Ada apa, Ayah?” tanya Lia.
“Ada bagian jembatan yang perlu diperbaiki setelah badai,” jawab ayah.
Lia mengangkat tangan. “Aku boleh ikut?”
Ayahnya ragu sejenak, lalu mengangguk. “Boleh, tapi kamu harus tetap di tempat aman.”
Lia senang. Ia membawa buku gambarnya juga, karena ia ingin menggambar jembatan itu dari dekat.
Bab 11: Pertemuan di Tepi yang Aman
Lia dan ayahnya datang ke area aman dekat jembatan, tidak masuk ke jalur hewan, hanya di tempat manusia bekerja.
Luno melihat dari kejauhan. Ia ingat Lia sebagai anak manusia yang suka menatap padang tanpa berteriak. Luno tidak mendekat, tetapi ia mengamati.
Sari juga mengamati. Ia waspada, namun ia juga melihat manusia membawa benih rumput, bukan membawa benda berbahaya.
Ayah Lia dan timnya menabur benih rumput di bagian yang terbuka. Mereka menaruh jerami agar tanah tidak mudah terbang. Mereka menata batu kecil agar air hujan tidak mengikis.
Lia membantu menaruh beberapa helai jerami. Ia melakukannya pelan, seperti merapikan selimut.
Saat istirahat, Lia melihat jejak kaki kecil di tanah: jejak kelinci, jejak rusa kecil, mungkin jejak prong.
Ia berbisik, “Ini jalan kalian ya.”
Tentu hewan tidak mendengar kata-kata Lia, tetapi Wira melihat gerakannya. Burung hantu itu berpikir, “Anak manusia itu memahami tanpa harus menyentuh.”
Sore hari, manusia pergi. Bagian jembatan tampak lebih rapi. Rumput belum tumbuh, tapi benih sudah ditanam.
Malamnya, Wira terbang rendah dan memanggil Luno serta Sari.
“Besok pagi,” kata Wira, “kalian pimpin kawanan kalian menyeberang lagi. Tunjukkan bahwa jalur ini tetap aman.”
Luno mengangguk. Sari mengangguk. Mereka tahu ini penting.
Bab 12: Pelajaran Tentang Percaya
Pagi berikutnya, Luno berjalan paling depan bersama Garda. Mereka menyeberang jembatan pelan. Ketika sampai di area tanah terbuka yang baru ditabur benih, Garda berhenti sebentar, mengendus, lalu melanjutkan.
Anak rusa melihat itu dan mulai berani.
Sari juga memimpin Lari-Tajam. Ia tidak berlari cepat. Ia melangkah mantap. Prong muda mengikuti.
Hari itu, jembatan hijau kembali ramai dengan langkah-langkah tenang.
Beberapa hari kemudian, rumput kecil mulai tumbuh di bagian yang sempat terbuka. Tidak langsung lebat, tetapi cukup memberi rasa “padang” lagi.
Luno merasa lega. Sari merasa lega. Wira merasa lega.
Brum, beruang penasaran, juga lewat suatu malam. Ia menatap rumput muda dan bergumam, “Bukit hijau ini benar-benar dipelihara.”
Bab 13: Pesan dari Burung Hantu
Suatu malam, ketika bulan menggantung rendah, Wira mengumpulkan Luno, Sari, dan Brum di dekat sisi jembatan yang aman.
“Aku ingin kalian mengingat sesuatu,” kata Wira. “Jembatan ini bukan hanya tanah dan rumput. Ini janji.”
“Janji siapa?” tanya Brum.
“Janji bahwa yang kuat tidak boleh lupa pada yang kecil,” jawab Wira. “Janji bahwa yang cepat tidak boleh menyepelekan yang lambat. Janji bahwa yang bisa membangun harus memikirkan yang tidak bisa membangun.”
Luno teringat anak-anak rusa yang mudah lelah. Sari teringat prong muda yang dulu hampir panik. Brum teringat dirinya yang tersesat dan butuh arah.
Wira melanjutkan, “Dan kalau suatu hari jalur ini rusak atau berubah, kalian tidak boleh segera menyerah. Kalian harus belajar lagi, berjalan lagi, percaya lagi.”
Sari berkata pelan, “Kadang percaya itu lebih sulit daripada berlari.”
Wira mengangguk. “Betul.”
Bab 14: Epilog, Jalan Pulang yang Dijaga
Sejak hari itu, Padang Angin masih punya jalan berderu yang membelah. Tetapi padang itu tidak lagi terasa terkurung. Ada jalur hijau yang menghubungkan dua sisi, seperti jahitan yang rapi.
Luno tumbuh menjadi rusa yang pandai menuntun jalur. Ia mengajari rusa muda mengingat rute menuju jembatan. Ia berkata, “Kalau kamu bingung, cari rumput yang sedikit lebih hijau di atas jalan. Itu jalan pulang.”
Sari terus memimpin Lari-Tajam dengan bijaksana. Ia mengajari yang muda bahwa berani bukan berarti menerobos, melainkan memilih langkah aman meski butuh sabar.
Brum, beruang penasaran, tetap suka berjalan-jalan, tetapi sekarang ia tidak lagi menganggap pagar pengarah sebagai sesuatu yang mengganggu. Ia tahu pagar itu seperti tangan tak terlihat yang memberi petunjuk.
Wira, burung hantu penjaga malam, tetap mengawasi dari pohon tua. Ia memantau perubahan angin, hujan, dan kebiasaan kawanan. Ia senang karena malam di Padang Angin kini lebih damai.
Dan di kampung manusia, Lia sering menggambar jembatan hijau. Ia menggambar rusa, prong, dan burung hantu di atasnya. Kadang ia menggambar beruang besar yang berjalan pelan.
Di bawah gambar itu, Lia menulis kalimat sederhana yang ia pelajari dari ayahnya:
“Kalau kita membuat jalan, kita juga harus membuat jalan pulang.”
Pesan Moral
Ketika tempat tinggal dibagi oleh sesuatu yang besar, kita bisa memilih dua hal: membiarkan yang kecil kesulitan, atau membuat ruang agar semua bisa lewat dengan aman. Kebaikan kadang bukan hal megah—kadang kebaikan adalah jalur yang dibuat dengan sabar, lalu dijaga bersama.



















