Burung yang Kehilangan Bintang

Bab 1: Malam Pertama Perjalanan

Jauh di utara, di sebuah hutan yang dinginnya masih menyimpan embun pagi meski matahari sudah tinggi, hiduplah seekor burung kecil bernama Aru. Bulu Aru berwarna abu kebiruan, sederhana, tidak mencolok. Namun matanya selalu bersinar jika menatap langit.

Aru bukan burung terbesar di kawanan. Ia juga bukan yang paling kuat. Tapi Aru punya satu kelebihan yang membuat burung-burung lain menghormatinya: ia hafal langit.

Setiap malam, Aru suka duduk di dahan tertinggi dan memandang bintang. Ia mengenali pola-pola kecil cahaya di atas sana. Ia tahu bintang mana yang selalu muncul di awal malam, dan bintang mana yang datang belakangan.

“Kenapa kamu selalu lihat ke atas?” tanya burung muda lain.

“Karena langit menyimpan jalan,” jawab Aru.

Malam itu, angin bertiup lembut dari utara. Itu tanda yang ditunggu-tunggu.

Pemimpin kawanan mengepakkan sayapnya. “Waktunya berangkat.”

Musim dingin akan datang. Mereka harus terbang ke selatan, ke tempat yang lebih hangat, tempat makanan masih banyak.

Aru mengepakkan sayap bersama kawanan. Ia menatap bintang, lalu menatap bumi.

Perjalanan panjang pun dimulai.

Bab 2: Langit yang Selalu Sama

Hari-hari pertama berjalan lancar. Kawanan terbang mengikuti garis tak terlihat di langit. Malam hari, mereka beristirahat di pepohonan atau tepi danau. Siang hari, mereka makan dan menguatkan diri.

Aru selalu memastikan arah mereka benar. Jika ada burung muda yang ragu, Aru akan terbang sedikit ke depan, lalu berputar kembali, memberi isyarat.

“Tenang,” seolah begitu pesan Aru. “Kita masih di jalur.”

Langit malam selalu sama. Bintang-bintang setia menemani.

Sampai suatu malam… langit berubah.

Bab 3: Cahaya yang Terlalu Terang

Saat kawanan mendekati wilayah selatan, Aru melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Langit di kejauhan bercahaya.

Bukan cahaya bulan. Bukan cahaya bintang. Cahaya itu datang dari bawah, memantul ke langit, membuat bintang-bintang tampak redup.

“Apa itu?” tanya burung muda dengan suara gemetar.

Aru terdiam. Ia tidak punya jawaban.

Mereka mendekat, dan cahaya semakin terang. Bangunan tinggi muncul seperti gunung aneh yang lurus dan keras. Lampu menyala di mana-mana, tidak pernah padam.

Langit kota tidak gelap. Langit kota menyala.

Aru mencoba mencari bintang yang biasa ia ikuti, tetapi cahaya menutupinya.

“Bintangnya ke mana?” tanya burung lain.

Aru merasakan sesuatu yang tidak nyaman di dadanya. Untuk pertama kalinya, ia kehilangan arah.

Bab 4: Kawanan yang Terpecah

Pemimpin kawanan mencoba tetap tenang. Ia memberi sinyal agar mereka menghindari cahaya terang.

Namun tidak semua burung mendengar.

Beberapa burung muda tertarik pada cahaya. Mereka terbang mendekat, mengira itu matahari yang terlambat terbit. Beberapa burung lain kelelahan dan turun terlalu rendah.

Kawanan mulai terpecah.

Aru mencoba memanggil, terbang bolak-balik, tetapi suara angin dan kota terlalu ramai.

Ia melihat satu burung hampir menabrak dinding kaca, lalu berbelok tajam di detik terakhir.

“Ini berbahaya,” gumam Aru.

Malam itu, Aru dan sebagian kecil kawanan berhasil mendarat di taman kota. Pohonnya tidak banyak, tapi cukup untuk bertengger.

Yang lain… Aru tidak tahu.

Bab 5: Kota yang Tidak Pernah Gelap

Di taman kota, Aru duduk lemas. Sayapnya pegal. Matanya mencari langit gelap, tetapi yang ia lihat hanya cahaya.

Lampu jalan menyala. Gedung-gedung memantulkan cahaya seperti danau buatan. Bahkan bintang yang paling terang pun sulit terlihat.

Aru merasa takut.

Bukan takut pada manusia, tapi takut pada kehilangan petunjuk.

“Apa kita tersesat?” tanya burung kecil bernama Milo.

Aru ingin menjawab “tidak”. Tapi ia tidak bisa berbohong.

“Kita harus menunggu,” kata Aru akhirnya. “Sampai langit membantu kita lagi.”

Bab 6: Burung Hantu Penjaga Taman

Di taman itu, tinggal seekor burung hantu tua bernama Sora. Ia sudah lama hidup di kota, di antara cahaya dan suara.

Sora menatap kawanan burung migran dengan mata bijaknya.

“Kalian tersesat,” kata Sora pelan.

Aru menunduk hormat. “Langitnya… berbeda.”

Sora mengangguk. “Cahaya manusia membingungkan banyak burung seperti kalian. Kalian bukan yang pertama.”

“Lalu bagaimana caranya pergi?” tanya Milo.

Sora terdiam sejenak. “Menunggu malam yang lebih sunyi. Atau… berharap manusia mematikan sebagian cahaya.”

Kata-kata itu terdengar seperti harapan yang terlalu besar.

Bab 7: Anak Manusia dan Jendela Kaca

Di sebuah apartemen dekat taman, tinggal seorang anak manusia bernama Lina. Lina suka membaca buku tentang hewan dan langit.

Suatu malam, Lina mendengar bunyi kecil di luar jendela. Ia membuka tirai dan melihat burung-burung bertengger di pohon taman.

“Mereka banyak sekali,” gumam Lina.

Ia melihat satu burung kecil mematuk kaca, bingung melihat pantulan dirinya sendiri.

Lina teringat sesuatu yang pernah ia baca: burung migran sering tersesat karena cahaya kota.

Ia memanggil ibunya.

“Bu, boleh nggak lampunya dimatiin sebagian?” tanya Lina.

Ibunya heran, tapi melihat ke luar jendela. “Oh… burung-burung itu.”

Malam itu, Lina dan ibunya mematikan lampu balkon dan menarik tirai. Beberapa tetangga ikut melakukan hal yang sama.

Tidak semua. Tapi sebagian.

Bab 8: Malam yang Sedikit Lebih Gelap

Perubahan itu kecil. Sangat kecil.

Namun Aru merasakannya.

Langit masih terang, tetapi tidak seterang sebelumnya. Di sela cahaya, Aru melihat sesuatu yang familiar: satu bintang kecil.

Aru menahan napas. Ia menatap bintang itu lama sekali.

“Itu…” bisiknya. “Aku kenal itu.”

Milo mendekat. “Apa itu cukup?”

“Belum,” jawab Aru jujur. “Tapi ini awal.”

Bab 9: Konflik Kecil di Udara

Keesokan malam, mereka mencoba terbang lagi. Tidak jauh. Hanya menguji.

Namun angin kota berputar aneh di antara gedung. Aru hampir kehilangan kendali dan harus turun cepat.

Beberapa burung panik. Milo hampir menabrak papan iklan bercahaya.

Aru segera memberi sinyal turun. Tidak ada yang terluka, tetapi ketakutan terasa jelas.

“Kita belum siap,” kata Aru. “Dan langit belum cukup gelap.”

Burung-burung terdiam. Ada rasa putus asa, tapi juga kepercayaan pada Aru.

Bab 10: Kota yang Mulai Belajar

Beberapa hari berlalu. Burung-burung tetap di taman. Mereka makan serangga kecil dan biji yang tersisa.

Di sisi lain, Lina menceritakan tentang burung-burung itu ke sekolahnya. Gurunya tertarik. Cerita itu sampai ke pengelola gedung.

Tidak semua orang peduli. Tapi cukup banyak yang mau mendengar.

Beberapa gedung mematikan lampu luar lebih awal. Lampu taman diredupkan sebagian.

Langit kota perlahan berubah.

Bab 11: Bintang yang Kembali Terlihat

Malam itu, Aru menatap langit dan hampir tidak percaya.

Bintang-bintang tidak sepenuhnya kembali. Tapi cukup banyak.

Aru mengepakkan sayap pelan. Ia terbang naik sedikit, menguji arah.

Ia berputar, lalu kembali ke kawanan.

“Kita bisa mencoba,” katanya.

Tidak ada sorak. Tidak ada teriakan. Hanya keheningan penuh harap.

Bab 12: Melanjutkan Perjalanan

Kawanan terbang, kali ini lebih percaya diri. Mereka melewati batas kota, menjauh dari cahaya.

Aru memimpin, matanya menatap bintang.

Di bawah, Lina berdiri di jendela, melihat bayangan burung menghilang ke arah gelap.

“Selamat jalan,” bisiknya.

Epilog: Langit yang Dibagi

Perjalanan Aru belum selesai. Masih banyak malam dan rintangan. Tapi satu hal ia pelajari: langit adalah milik bersama.

Jika manusia mau berbagi sedikit kegelapan, burung-burung bisa menemukan jalan.

Dan di kota itu, setiap musim migrasi tiba, sebagian lampu akan dipadamkan lebih awal.

Aru mungkin tidak tahu nama kota itu. Tapi ia ingat satu hal: malam di sana pernah memberi kembali bintang.


Pesan Cerita

Hal kecil seperti cahaya bisa berdampak besar.
Jika kita mau mengurangi sedikit kenyamanan,
makhluk lain bisa melanjutkan hidupnya.

Berbagi ruang tidak selalu berarti memberi tempat,
kadang cukup dengan memberi gelap.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Share via
Copy link