Beruang yang Mencari Musim
Bab 1: Hutan Empat Musim
Di balik pegunungan biru yang puncaknya sering diselimuti kabut, terbentang Hutan Lumira. Hutan ini istimewa karena mengenal empat musim dengan sangat jelas. Musim semi membawa bunga liar berwarna kuning dan ungu. Musim panas membuat sungai mengalir deras dan buah-buahan matang. Musim gugur menurunkan daun seperti hujan pelan. Dan musim dingin… musim dingin adalah waktu tidur panjang.
Di Hutan Lumira, hiduplah seekor beruang muda bernama Bara.
Bara bukan beruang terbesar, juga bukan yang paling kuat. Tapi Bara dikenal sebagai beruang yang paling peka pada perubahan musim. Ia bisa mencium datangnya hujan sebelum awan berkumpul. Ia bisa merasakan dingin sebelum salju turun.
Ibunya sering berkata, “Beruang yang bertahan hidup bukan yang rakus, tapi yang tahu kapan cukup.”
Bara menyimpan kalimat itu dalam-dalam.
Bab 2: Musim yang Datang Terlambat
Tahun itu, musim panas datang lebih panjang. Buah beri yang biasanya matang cepat justru mengering sebelum sempat dipetik. Sungai tetap mengalir, tapi tidak sedingin biasanya.
Bara berjalan menyusuri hutan sambil mengendus tanah. Banyak jejak lama, tapi sedikit makanan segar.
“Kenapa musimnya lambat?” gumam Bara.
Ia bertemu beruang tua bernama Garu, yang sudah hidup melewati banyak musim.
“Musim tidak hilang,” kata Garu pelan. “Tapi mereka bingung. Seperti kita.”
Bara tidak sepenuhnya mengerti, tapi ia merasakan keresahan yang sama.
Bab 3: Tanda-Tanda yang Terlewat
Biasanya, saat udara mulai dingin, hutan memberi tanda: jamur muncul, serangga berkurang, buah terakhir jatuh. Itu tanda bagi beruang untuk bersiap tidur musim dingin.
Namun tahun itu, tanda-tanda datang tidak berurutan.
Ada hari yang hangat, lalu tiba-tiba dingin. Ada buah yang jatuh terlalu cepat, lalu tidak ada lagi.
Bara mulai makan lebih banyak, mencoba menyimpan energi. Tapi perutnya sering tetap terasa kosong.
Ia mulai berjalan lebih jauh dari biasanya.
Bab 4: Aroma Asing dari Lembah
Suatu sore, saat matahari turun dengan warna oranye pucat, Bara mencium aroma aneh dari arah lembah.
Aroma itu bukan buah, bukan ikan, bukan madu.
Aroma itu… seperti campuran banyak hal. Roti. Manis. Lemak. Hangat.
Aroma itu membuat perut Bara berbunyi.
Ia mengikuti aroma itu pelan-pelan, melewati batas hutan yang jarang ia datangi.
Di kejauhan, ia melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat sedekat itu: rumah manusia.
Bab 5: Desa yang Tidak Tidur
Desa itu tidak pernah benar-benar sunyi. Ada cahaya di malam hari. Ada suara pintu. Ada bau makanan yang tidak disimpan di pohon atau tanah, tapi di wadah-wadah keras.
Bara bersembunyi di balik semak. Jantungnya berdegup cepat.
Ia tidak ingin mengganggu. Ia hanya… lapar.
Di dekat sebuah rumah, ada tong besar berbau makanan. Bara mendekat perlahan. Ia mendorong tutupnya dengan hidung.
Makanan. Banyak.
Bara makan cepat, tidak rakus, tapi cukup.
Namun tiba-tiba, pintu terbuka. Seorang manusia keluar dan berteriak.
Bara terkejut. Ia mundur, tersandung, lalu lari kembali ke hutan.
Malam itu, Bara tidak terluka. Tapi dadanya penuh rasa takut dan bingung.
Bab 6: Rasa Bersalah yang Tidak Dipahami
Keesokan harinya, Bara kembali ke hutan. Ia merasa aneh.
Ia tidak bermaksud mencuri. Ia tidak bermaksud menakut-nakuti.
Ia hanya mengikuti musim… tapi musim tidak menuntunnya dengan baik.
Ia bertemu Garu dan menceritakan apa yang terjadi.
Garu menatapnya lama. “Kamu tidak salah, Bara. Tapi dunia berubah. Kita harus ekstra hati-hati.”
Bara menunduk. “Aku cuma mencari musim.”
Bab 7: Anak Manusia Bernama Nara
Di desa itu, tinggal seorang anak manusia bernama Nara. Nara suka menggambar hewan dan sering bertanya tentang hutan.
Ketika mendengar kabar tentang beruang yang datang ke desa, Nara tidak langsung takut.
“Kenapa beruangnya ke sini?” tanya Nara pada ibunya.
Ibunya menjawab, “Mungkin karena hutannya berubah.”
Nara menggambar beruang besar dengan wajah bingung, bukan wajah marah.
Bab 8: Konflik Kecil di Tepi Hutan
Beberapa hari kemudian, Bara kembali ke tepi desa, tapi ia tidak masuk. Ia hanya mengendus dari jauh.
Namun seorang manusia melihatnya dan memukul benda keras untuk mengusir.
Suara itu membuat Bara panik. Ia lari tanpa arah dan hampir tergelincir ke sungai kecil.
Tidak ada yang terluka. Tapi Bara gemetar.
Ia sadar: desa bukan tempat aman, meski penuh makanan.
Bab 9: Manusia yang Belajar
Kabar tentang beruang sampai ke kepala desa. Beberapa orang marah, beberapa takut.
Namun ada juga yang berpikir.
Mereka mulai menutup tong sampah lebih rapat. Mereka membersihkan sisa makanan. Mereka memasang papan peringatan.
Nara membantu menggambar papan: gambar beruang dan tulisan peringatan sederhana.
“Supaya beruang tidak datang lagi,” kata Nara. “Dan supaya manusia tidak panik.”
Bab 10: Jalan Tengah
Di hutan, Garu mengajak Bara ke area yang jarang didatangi. Di sana, manusia menanam pohon buah liar sebagai bagian dari upaya menjaga hutan.
Buahnya belum banyak, tapi ada.
“Ini mungkin jalan tengah,” kata Garu.
Bara makan pelan. Rasanya tidak sebanyak di desa, tapi cukup.
Bab 11: Musim Dingin yang Akhirnya Datang
Akhirnya, musim dingin datang. Tidak sempurna, tapi cukup.
Salju turun tipis. Udara mendingin. Hutan kembali memberi tanda.
Bara menemukan gua kecil dan bersiap tidur.
Sebelum menutup mata, ia teringat desa, tong makanan, teriakan, dan wajah Nara yang ia lihat dari jauh.
Ia tidak membenci manusia. Ia hanya berharap mereka juga mengerti.
Bab 12: Tidur dan Harapan
Saat Bara tidur panjang, hutan bernapas pelan.
Musim akan terus berubah. Tidak selalu rapi. Tidak selalu adil.
Namun selama ada yang mau belajar—baik beruang maupun manusia—jalan tengah selalu mungkin.
Epilog: Mencari Musim Bersama
Musim semi berikutnya, Bara bangun dengan tubuh lebih kuat. Hutan masih berubah, tapi lebih dijaga.
Desa lebih rapi. Sampah tidak lagi menarik.
Nara menggambar beruang di buku barunya, kali ini dengan latar hutan yang hijau.
Dan di antara hutan dan desa, ada jarak yang kini dipahami bersama.
Bara tidak lagi mencari musim sendirian. Dunia mulai belajar mencarinya bersama.
Pesan Moral
Ketika alam berubah, satwa tidak berniat mengganggu—mereka hanya mencoba bertahan. Jika manusia mau menata sedikit, konflik bisa berubah jadi pengertian. Berbagi ruang adalah tentang memahami batas, bukan mengusir.



















